Selasa, 14 Oktober 2008

INSAN KAMIL: PERPADUAN JIHAD, IJTIHAD, DAN MUJAHADAH

Pendahuluan

Insan kamil adalah konsep manusia paripurna. Manusia yang berhasil mencapai puncak prestasi tertinggi dilihat dari beberapa dimensi. Nabi Muhammad Saw disebut sebagai teladan insan kamil atau istilah populernya di dalam Q.S. al- Ahdzab/33:21: "figur teladan" (ushwah hasanah). Perwujudan insan kamil dibahas secara khusus di dalam kitab-kitab tasawuf, namun konsep insan kamil ini juga dapat diartikulasikan dalam kehidupan kontemporer.

Kata jahada (bersungguh-sungguh) membentuk tiga kata kunci yang dapat mengantar manusia meraih predikat tertinggi sebagai manusia paripurna (insan kamil). Jihad berarti perjuangan fisik secara optimal dilakukan untuk mencapai tujuan. Ijtihad berarti perjuangan secara intelektual yang dilakukan secara bersungguh-sungguh untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan mujahadah adalah kelanjutan dari perjuangan secara fisik dan intelektual, yaitu perjuangan batin atau rohani.

Seseorang yang mendambakan kualitas hidup yang sejati atau paripurna tidak bisa hanya mengandalkan salah-satu di antara ketiga kualitas perjuangan tadi, tetapi ketiga-tiganya harus sinergi di dalam diri, sebagaimana ditampilkan oleh Rasul teladan kita, Muhammad Saw. Beliau sangat terampil di dalam perjuangan fisik, terbukti dirinya sering terlibat sebagai panglima angkatan perang yang sangat disegani oleh kawan dan lawan. Beliau juga seorang yang cerdas pikiran-pikirannya yang terlihat kemampuan menyatukan orang-orang Arab dan menghijrahkannnya dari pola pikir dan prilaku jahiliah ke pola pikir dan prilaku islamiah yang humanis dan madani.

Komposisi ketiga unsur perjuangan di atas sebaiknya diatur sesuai dengan kapasitas masing-masing orang. Untuk mencapai umat terpilih (khaira ummat) maka sebaiknya dilakukan pembagian dan distribusi peran sesuai dengan tingkat kemampuan seseorang. Seorang ulama sepuh mungkin tidak lagi dituntut untuk turun ke lapangan berjuang dan berjihad secara fisik, tetapi Nabi secara arif pernah mengatakan “tinta goresan pena para ulama lebih mulia daripada tetesan darah para syuhada”. Sebaliknya orang yang hanya memiliki kemampuan otot maka jihad baginya adalah perjuangan yang paling istimewa. Seseorang yang gugur di medan jihad akan langsung masuk syurga, bahkan kalau terpaksa, “tidak perlu dikafani, cukup dengan pakaian yang melekat di badannya, karena bagaimanapun yang bersangkutan akan langsung masuk syurga”, kata Rasulullah Saw.

Jarak dan penampilan seorang yang melakukan jihad, ijtihad, atau mujahadah, terkadang sulit dibedakan --dan memang sulit dilakukan pembedaan secara skematis-- karena di dalam diri yang bersangkutan tersimpan suatu persamaan mendasar, yaitu semuanya dilakukan lillahi ta’ala. Tidak ada pamrih karena mereka didasari keikhlasan, tidak ada riya’ yang membutuhkan pujian dan pengakuan manusia, tidak ada kesombongan sekalipun mereka sukses, karena mereka menyadari semuanya itu atas pertolongan dan ma’unah Tuhan.

Jihad

Jihad yang dimaksudkan di sini ialah perjuangan yang dilakukan seseorang dengan mengandalkan unsur fisik atau otot, meskipun perjuangan non-fisik juga masuk kategori jihad di tempat lain. Jihad secara fisik tidak mesti harus diukur kemampuan seseorang untuk mengangkat senjata melawan musuh-musuh Islam, tetapi juga melakukan berbagai usaha secara fisik untuk terwujudnya keamanan, keselamatan dan ketinggiian martabat manusia juga termasuk jihad. Bahkan menyingkirkan batu kerikil di jalanan yang dapat membahayakan orang lain termasuk cabang dari jihad, kata Rasulullah Saw.

Medan jihad di sekitar kita semakin banyak, meskipun musuh-musuh dari kaum kafir secara fisik tidak tampak. Semua kondisi dan keadaan yang menindas dan mereduksi hak-hak asasi manusia dapat dijadikan sebagai medan jihad. Kebodohn, kemiskinan, rasa takut, kondisi kesehatan masyarakat yang rendah, dan semacamnya, juga menjadi lahan jihad yang tak kalah mulianya dengan menghadapi musuk dari kaum kafir.

Jihad yang dilakukan harus dengan taktik, cara, dan strategi yang benar dan tepat. Jihad tidak boleh kontra-produktif. Jihad yang dilakukan Rasulullah selalu mendatangkan manfaat yang lebih besar dengan resiko yang sangat minim. Rasulullah memang pernah mengatakan, “suarakanlah kebenaran sekalipun pahit” (qul al-haq walau kana murran), tetapi Al-Qur’an mengatakan “jangan melemparkan diri kalian ke dalam kebinasaan” (la tulqu aidiyakum ila al- tahlukah).

Jihad yang dilakukan tanpa perhitungan matang, apalagi mendatangkan mudarat lebih besar daripada manfaat, sesungguhnya tidak tepat disebut jihad. Mungkin lebih tepat disebut perbuatan sia-sia, atau bahkan keonaran (al-fasad). Banyak contoh dalam Al-Qur’an dan dalam sejarah umat Islam, bahwa tidak sedikit orang yang mau berbuat baik tetapi tidak disertai perencanaan yang matang maka hasilnya kerugian. Jihad ukurannya adalah kualitas dan produktif, seperti yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an “betapa suatu kekuatan minoritas dapat menaklukkan kekuatan mayoritas”.

Unsur yang harus ada dalam jihad antara lain, adanya keterlibatan fisik di dalamnya, ada perhitungan dan perencanaan yang matang, baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka panjang, harus lebih banyak manfaat daripada mudaratnya menurut ukuran-ukuran universal tujuan syari’ah (maqashid al-syari’ah). Ukuran-ukuran subyektif di dalam menjalankan peran jihad amat riskan. Jihad yang berskala masif yang melibatkan banyak orang membutuhkan organisasi dan manajemen. Sebab jika tidak, maka jihad akan menjadi riskan dan penuh dengan resiko yang bisa merusak sesuatu yang sudah mapan dan produktif.

Unsur lain yang harus ada dalam jihad ialah motivasi kuat yang didorong oleh niat tulus hanya untuk Allah Swt. Tanpa niat dan motivasi ini jihad sulit mencapai tujuan yang diharapkan. Mungkin secara fisik berhasil, misalnya menaklukkan musuh, tetapi harus pula berhasil di sisih Tuhan yang diukur berdasarkan niat suci tadi.

Ijtihad

Ijtihad di sini diartikan perjuangan secara intelektual seseorang. Tidak semua orang dapat melakukan ijtihad. Unsur-unsur yang harus dipenuhi seseorang baru dapat disebut mujtahid tergantung dalam berbagai konteks. Jika dalam konteks fikih, seorang mujtahid harus menguasai bahasa Arab, ‘Ulumul Qur’an, Ulumul Hadits, muslim, dan praktisi muslim. Dalam konteks sosiologi Islam, seorang mujtahid difigurkan sebagai seorang yang mampu memberikan sumbangan intelektual dalam membela dan mengangkat derajat umat Islam dalam berbagai segi. Seorang ilmuan muslim yang ahli dalam bidang ekonomi dapat menyumbangkan konsep-konsepnya dalam memberantas kemiskinan umat, seorang fisikawan muslim dapat menyumbangkan teknologi perang untuk kejayaan umat manusia, seorang ahli obat-obatan dapat menyumbangkan ramuan dan resep untuk kesehatan manusia, dan seorang dokter muslim dapat mengupayakan penyembuhan pasien dengan cara-cara islamami dan seterusnya.

Ijtihad dan jihad masing-masing memiliki kekhususan. Kalau jihad perjuangan yang dilakukan lebih bersifat temporer, tergantung suasana dan intensitas tantangan, sedangkan perjuangan melalui ijtihad relatif lebih panjang, terutama jika diukur semenjak seseorang menuntut ilmu pengetahuan profesinya yang kemudian akan diabdikan ke dalam masyarakat.

Jumlah pejuang dalam bidang ijtihad relatif lebih terbatas dibanding dengan pejuang di medan jihad. Oleh karena itu, seorang mujtahid diberikan kekhususan-kekhususan, baikoleh Allah Swt ataupun oleh masyarakat. “Yang paling dekat kepada-Ku ialah para ulama” (ayat). Dan biasanya yang diterima sebagai pemimpin masyarakat ialah tokoh yang memiliki kapasitas intelektual di atas rata-rata masyarakat.

Perjuangan melalui ijtihad lebih bersifat strategis dan berjangka panjang. Sementara perjuangan melalui jihad lebih berjangka pendek. Kesulitan yang dihadapi antara keduanya tergantung kondisi yang dihadapi. Boleh jadi tingkat kesulitan dan tantangan jihad lebih berat, terutama di waktu kekacauan dan peperangan. Akan tetapi perjuangan ijtihad dituntut lebih banyak di masa damai, terutama untuk memikirkan kualitas hidup umat yang lebih layak.

Dari segi peralatan juga berbeda. Seorang mujahid mungkin lebih banyak membutuhkan alat-alat fisik, seperti persenjataan atau alat-alat bangunan, tetapi seorang mujtahid lebih banyak membutuhkan fasilitas dan institusi sebagai arena untuk melahirkan konsep-konsep kesejahteraan umat.

Mujahadah

Mujahadah bisa diartikan perjuangan batiniah menuju kedekatan diri kepada Allah Swt, dan ada juga mengartikannya dengan perjuangan melawan diri sendiri, yakni melawan kekuatan pengaruh hawa nafsu yang menghambat seseorang untuk sampai kepada martabat utama, “puncak ketaqwaan” (haqqa tuqatih/Q.S. Ali ‘Imran/2:102). Ahli Haqiqah mengartikanny dengan melawan kemauan hawa nafsu liar. Mujahadah bisa dianggap sebagai kelanjutan dari jihad dan ijtihad, bisa juga dianggap sebagai sesuatu yang membrikat spirit di dalam jihad dan ijtihad.

Seorang muslim ideal memadukan ketiga istilah ini di dalam dirinya. Jihad tanpa ijtihad dan mujahadah sama dengan nekat dan ini dilarang dalam Q.S. al-Baqarah/2195. Ijtihad tanpa mujahadah berpotensi menjadi sekularis dan ini menyalahi Q.S. al-A’raf/7:179). Mujahadah tanpa jihad dan ijtihad cenderung “beragama secara kamuflase” dan ini dicela di dalam Q.S. al- Ma’un/107:1-7). Kombinasi ketiga konsep tersebut, itulah yang dimaksud dan diperintahkan di dalam Q.S. al-‘Ankabut/29:69): “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keredlaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.

Pengamalan mujahadah dicirikan pada beberapa hal, antara lain: 1) tidak makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang, 2) tidak tidur lainkan hanya sedikit sekali, dan 3) tidak berbicara kecuali yang sangat perlu.

Menurut Ibrahim ibn Adham, cirri-ciri mujahadah meliputi: 1) menutup pintu kenikmatan lalu membuka pintu kegetiran, 2) menutup pintu pupularitas lalu membuka pintu kesederhanaan, 3) menutup pintu istirahat lalu membuka pintu kesibukan (spiritual), 4) menutup pintu tidur lalu membuka pintu jaga, 5) menutup pintu kekayaan lalu membuka pintu kefaqiran (merasa cukup dengan apa yang sudah ada), dan 6) menutup pintu angan-angan (duniawi) lalu membuka pintu persiapan kematian.

Pengamalan mujahadah tidak mesti dipertentangkan dengan kesibukan duniawi, karena kesibukan duniawi itu bisa berfungsi sebagai jihad, perjuangan untuk memenuhi kebutuhan fisik (basic needs). Namun, setiap orang idealnya mengupayakan peningkatan posisi spiritual dari hari ke hari. Alangkah ruginya seseorang kalau tingkatan keimanannya datar dari hari kehri, dan lebih merugi lagi orang yang posisi keimanannya semakin ahri semakin menurun. Upaya yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan keimanan dan prestasi spiritual itulah yang disebut dengan mujahadah.

Tantangan berat mujahadah ialah pengaruh hawa nafsu. Sikap melawan dominasi hawa nafsu di dalam diri, itulah yang disebut dengan al-mukhalaffah al-nafs (memilih sikap berbeda dengan keinginan hawa nafsu). Hawa nafsu di sini yang berkonotasi negatif, seperti amarah, takbur, hasad, kikir, riya, buruk sangka, dengki, keluh-kesa, egois, sewenang-wenang, smbrono, kasar, dll., sebagaimana diungkapkan dalam Q.S. Yusuf/12:53): “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahanan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Tidak ada komentar: